KISAH CINTA ALI BIN ABI THALIB DAN FATIMAH AZ-ZAHRA
ini nih kisah yang indah,,,
gak pake pacaran,,,
let's cekidott....
KISAH CINTA ALI BIN ABI THALIB DAN FATIMAH AZ-ZAHRA
Sungguh beruntung bila diantara kita ada yang bisa mengikuti jejak
cinta dari seorang Ali bin Abi Thalib RA dan istrinya Fathimah Az-Zahra
RA. Karena keduanya adalah sosok yang memiliki cinta sejati yang
mumpuni. Saling mengisi dan percaya dalam mengarungi bahtera kehidupan.
Saling menenguhkan keimanan masing-masing kepada Allah SWT. Dan untuk
lebih jelasnya, mari kita ikuti kisah singkat tentang cinta sejati
mereka:
Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak
dikisahkannya pada siapapun. Fathimah, karib kecilnya, puteri tersayang
dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya.
Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis
itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan
kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka
dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk
menghentikan darah ayahnya. Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan
hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak
diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah
ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula
saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam
diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi
mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali.
Ali tak
tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak
ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar
seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan
Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak
awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu
Bakar Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah mengujiku
rupanya”, begitu batin ’Ali. Ia merasa diuji karena merasa apalah ia
dibanding Abu Bakar. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama,
mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun
keimanan dan pembelaannya pada Allah dan Rasul-Nya tak tertandingi.
Lihatlah bagaimana Abu Bakar menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah
sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di
ranjangnya.
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakar berda’wah.
Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk
Islam karena sentuhan Abu Bakar; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf,
Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab. Ini yang tak mungkin
dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.
Lihatlah
berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela
Abu Bakar; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud. Dan
siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakar sang
saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
Ali
hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. ”Inilah persaudaraan dan
cinta”, gumam ’Ali. ”Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku
mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku” Cinta tak pernah meminta
untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilahkan. Ia adalah
keberanian atau pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu, ternyata
Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakar ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk
mempersiapkan diri. Namun, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu
Bakar mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang
gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum
Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat
syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.
Umar ibn Al-Khaththab. Ya, Al-Faruq, sang pemisah kebenaran dan
kebathilan itu juga datang melamar Fathimah. ’Umar memang masuk Islam
belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakar. Tapi siapa yang
menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk
mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang
hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan
lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata,
”Aku datang bersama Abu Bakar dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakar
dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakar dan ’Umar.”
Betapa
tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba
bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya.
’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh
yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa
Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di
siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan
bersembunyi. ’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali,
lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera
Al-Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda,
anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang
’Umar di balik bukit ini!” ’Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali
lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia
pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti
Rasulullah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak. Dan ’Ali pun ridha.
Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan. Itulah
keberanian. Atau mempersilakan. Yang ini pengorbanan.Maka ’Ali bingung
ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak.
Menantu
macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang
miliarderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulullah? Yang seperti
Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti
Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang
kepercayaan diri. Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang
setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari
Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adzkah,
sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubaidah,
pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
”Mengapa bukan
engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu
membangunkan lamunan. ”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku
punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. ” ”Aku?”,
tanyanya tak yakin.”Ya. Engkau wahai saudaraku!” ”Aku hanya pemuda
miskin. Apa yang bisa kuandalkan?” ”Kami di belakangmu, kawan! Semoga
Allah menolongmu!”
’Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan
memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah.
Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada
dirinya. Hanya ada satu set baju besi disana ditambah persediaan tepung
kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk
bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas
waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua
sekarang. ”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya
mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda
yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya. Pemuda yang yakin
bahwa Allah Maha Kaya.
Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!”
Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi. Dan ia pun bingung.
Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan
sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung
untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak, itu
resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya
yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai
bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan. ”Bagaimana jawab Nabi
kawan? Bagaimana lamaranmu? ”Entahlah…” “Apa maksudmu?” “Menurut kalian
apakah ’”Ahlan wa Sahlan” berarti sebuah jawaban!” ”Dasar tolol!
Tolol!”, kata mereka, ”Eh, maaf kawan. Maksud kami satu saja sudah cukup
dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan
kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !” Dan ’Ali
pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah
yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar
ia membayar cicilannya. Itu hutang. Dengan keberanian untuk
mengorbankan cintanya bagi Abu Bakar, ’Umar, dan Fathimah. Dengan
keberanian untuk menikah. Sekarang, bukan janji-janji dan nanti-nanti.
Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki
yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan
cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan
dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk
menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang
pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.
Dan
ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam
suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah)
Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah
denganmu, aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda ” ‘Ali
terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau menikah denganku?
dan siapakah pemuda itu?” Sambil tersenyum Fathimah pun berkata; “Ya,
karena pemuda itu adalah dirimu”
Kemudian Nabi SAW bersabda: “
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan
Fathimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah
sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus
Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut”
Kemudian Rasulullah SAW. mendoakan keduanya: “Semoga Allah mengumpulkan
kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua,
memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan
yang banyak”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar